Aku Cinta Padamu ( Bohong )

Cerpen : Tomkian Wahyu

''Dik, mau ndak jadi pacar abang?'' Tanyaku pada dara bermata lentik yang duduk berhadapan denganku.

''Gombal akh..'' Jawabnya meledek.

''Bener nih, mau ndak?'' Tanyaku lagi.

''Kita kan baru kenal, Bang!''

''Kenapa? Memangnya salah kalau baru kenal?'' Tanyaku meyakinkannya.

''Emang serius?'' Ia balik bertanya.

''Serius yang gimana nih?''

''Ya serius mau jadi pacar, Adik.!''

''Kalau dibilang serius tapi seminggu bubaran, kan sama aja.''

''Iya sih.'' Gadis itu mulai yakin.

''Mending dijalani aja dulu, keseriusan itu pasti kelihatan nanti.'' Bak seorang sales aku meyakinkan customer.

''Tapi, nanti ada yang marah?'' Tanyanya menyelidik.

''Siapa?'' Tanyaku lagi.

''Pacar Abang!''

''Oh kirain Bapak, Adik yang marah.''

''Ish, ditanya yang bener pun becanda.'' Sedikit jengkel ia mengernyitkan dahi.

''Kalau Abang punya pacar, ngapain kita ketemu disini, dihari seharusnya orang menikmatinya bersama pasangan.'' Ku coba meyakinkan lagi, kemudian. ''Terus, ngapain Abang mau jadiin Adik pacar Abang.''

''Iya, ya.''

''Jangan iya, iya doang dong, mau ndak?'' Tanyaku sedikit mendesak.

''Adik pikir-pikir dulu ya, Bang.''

''Lho, kok pakai mikir lagi sih?''

''Adik ndak mau tergesa-gesa memutuskan hal ini, Bang.''

''Betul sih.'' Aku manggut-manggut.

''Memang, kenapa Abang mau sama Adik?''

''Abang suka aja sama, Adik.''

''Cuma suka?''

''Ndak juga sih.''

''Kalau ndak terus apa lagi alasannya?''

''Abang belum punya pacar.''

''Apa lagi?''

''Abang laper.''

''Ikh, becanda mulu ya..''

''Habis nanya mulu sih, diterima ndak juga.'' Ronaku mulai memerah, malu padahal belum ditolak.

Tiba-tiba ia mendekat dan mengecup keningku sambil menggenggam jemariku dan berbisik. ''Adik juga suka sama Abang!''

Kedua mataku menusuk dalam kedua matanya. Tak perlu lagi ku tanya jawaban darinya. Benih-benih cinta ini mulai tumbuh bersemi antara aku dan dia. ***

Akar cinta ini telah tumbuh mengokohkan pohon cinta diatasnya. Terpupuk dari kasih sayang, rindu, serta kebahagiaan-kebahagiaan yang tak dapat diutarakan melalui kata-perkata lisanku. Suka dan duka telah kami lewati selama setahun.

''Dik, minggu depan Abang ada tugas luar kota dan mungkin agak lama.'' Agak ragu aku memberitahu.

''Berapa lama sih, Bang?'' Tanyanya dengan segumpal senyum.

''Lamanya akan menggunungkan rindu kita.''

''Masak iya sih sampai segitunya.''

''Yakinlah..'' Dengan segudang kegundahan aku menjelaskan.

''Bang..'' Rengeknya.

''Iya, sayang.''

''Adik ndak bisa jauh darimu.''

''Begini..'' Ku peluk ia dari samping dengan menggenggam erat bahunya. ''Sepulang dari sana bagaimana kalau kita menikah.''

Ia hanya diam dengan mata yang berkaca-kaca. Menahan telaga bening yang akan meluap tumpah membanjiri pipinya.

Empat buah mata saling menikam penuh makna. ''Kenapa menatap Abang seperti itu?''

Ia cuma menggelengkan kepala, dan akhirnya tumpahlah telaga bening itu meleleh dipipinya.

''Apa Adik tidak mau kita buru-buru menikah?''

''Adik cinta Abang..'' Semakin terisak suaranya sambil memeluk erat lingkar pinggangku.

''Kalau cinta kenapa menangis.?'' Tanyaku heran.

''Ini tangis bahagia mendengar lamaranmu, Bang.''

''Tenanglah, waktu ini tak akan lama.'' Lanjutku. ''Abang juga ndak bisa jauh dari Adik kok.''

''Iya janji, jangan kelamaan perginya.'' Rengeknya diantara tangis bahagia memperlihatkan sisi yang manja. ***

Empat bulan berlalu. Rupiah demi rupiah telah aku kumpulkan demi mempersunting pujaan hati. Pekerjaan diluar kota telah selesai. Rinduku menggunung terbuai angin pada puncaknya.

''Abang pulang dan telah siap melamarmu.''

''Nanti dulu Bang, jangan tergesa-gesa.''

''Kenapa?''

''Kita nikmati dulu kerinduan ini yang telah sampai pada puncaknya.''

Angin rindu telah akrab bercengkrama dengan nyanyian burung-burung yang membelai awan diatas sana.

Esoknya. ''Bagaimana, sudah siapkah menjadi permaisuriku, Dik?'' Tanyaku pada gadis bermata lentik itu.

''Sabar ya Abang sayang.''

''Apa lagi yang ditunggu?'' Tanyaku heran.

''Sabar Abang sayang, masih banyak waktu.'' Nadanya datar.

''Maksudnya?''

''Cinta kita akan terbang bersama menelusuri sorga.'' Sambil berlalu meninggalkan senyum cinta untukku. ***

Dengan hati-hati aku menjaga hati. Menahan rindu, seminggu tak bertemu pujaan hati.

Berdebar dadaku ketika akan melangkah kerumah permaisuriku untuk proses lamaran. Sore ini tampak mendung tak seperti biasanya. Dari kejauhan tampak rumah itu telah ramai untuk menyambut kedatanganku. Semakin berdebar menahan sesak bahagia didalam dada.

''Assalamualaikum..''

''Wa'alaikusalam..'' Sambutan dari dalam rumah. ''Masuk nak.''

Suasana didalam rumah berbeda dengan apa yang aku harapkan. Tiada sedikit pun kebahagiaan menyambut lamaranku. Seorang Ibu tersedu diantara kerumunan Ibu-ibu yang berucap. ''Yang sabar, Bu.''

Seorang lelaki paruh baya tampak melamun. Kepalanya tertunduk memprlihatkan raut kesedihan. Aku menjadi bingung dan kemudian bertanya. ''Dimana gadisku?''

Tak ada satu pun dari mereka menjawab. Hanya nanar mata mereka menatapku.

''Duduklah nak.'' Ucap lelaki paruh baya itu.

''Apa yang terjadi, Pak?'' Tanyaku sambil melihat kain pembatas pintu kamar dengan berjuta curiga.

''Gadismu.'' Katanya terkoma.

''Ada apa, Pak? Apa yang terjadi?''

Terdengar semakin gaduh isak sedu perempuan paruh baya diantara kerumunan Ibu-ibu itu. Mataku mulai berkaca-kaca menafsirkan ulah mereka dengan sedikit curiga.

''Kamu yang sabar ya, nak.'' Lelaki itu berusaha menguatkanku.

''A.. apa yang terjadi, Pak?''

''Gadismu, telah menitip surat ini sebelum pergi.''

Ku pegang erat surat itu dalam genggaman. Tak tahan lagi, air mataku menitik. ''Jelaskan apa yang terjadi, Pak.'' Aku memohon pada lelaki itu.

''Gadismu telah pergi meninggalkan kita.'' Terbata ucapnya. ''Ia telah mencabut paku dari ubun-ubunnya sendiri.'' ***

Teka Teki Pagi

Gua Lamhot, gua tinggal didesa ajibaho kecamatan biru-biru. Gua kerja sebagai sopir disalah satu perusahaan swasta dipusat kota medan. Namanya sopir, datangnya harus pagi-pagi banget dong supaya yang mau diantar jemput enggak telat sampai ketujuan. Gua sangat mencintai pekerjaan gua sekarang. Gimana enggak, uang masuknya cuy hampir seratus persen sama dengan gaji pokok. Ya lumayanlah buat tambah-tambah biaya nikah. Maklumlah diusia yang hampir kepala tiga ini gua masih melajang. ***

Suatu pagi agak merempongkan banget ketika gua mau berangkat kekantor mengendarai motor hampir butut warisan bokap gua. Waktu itu sehabis subuh dimana gua wajib nyampe kantor sebelum jam 7.00 karena mesti ngejemput tamu dari luar kota kebandara. Hujan turun rintik-rintik tapi agak rapat, jas hujan gua pake dari rumah. Semangat kerja tertanam sejak bangun tidur pagi tadi. Tapi wah baru beberapa kilometer berangkat dari rumah gua kepaksa ngelewati jalan yang tertimbun tanah yang konon rencananya akan diaspal. Disinilah yang merempongkan pagi gua.

Terhitung sudah lebih dari dua bulan proyek jalan ini belum rampung juga, aneh banget. Apabila hujan jalannya licin banget. Kemarin, pas pulang kerja gua nyaris aja tergelincir jatuh karena licinnya jalan berlumpur itu. Kalau hari panas terik, wah jangan ditanya lagi deh, debunya pasti tuh nempel dimana-mana termasuk paru-paru gua yang memang sering melintas disitu. Alat berat pengerjaan jalan cuma duduk manis dihalaman sebuah rumah mewah tertutup oleh sebuah baleho salah satu calon gubernur. Asumsi negatif pun timbul dari masyarakat bahwa perbaikkan jalan itu semata-mata hanya ingin mencuri simpatik masyarakat untuk pemilukada tahun depan, atau mungkin sang kontraktor udah makan duit proyek itu untuk beli mobil baru. Macamlah desas-desus itu memanaskan telinga.

Di-traffic light pertama perbatasan kota dan kampung gua. Gua kepaksa lagi harus nunggu antrian lewat bukan karena lampu merah yang menyala, tapi sekelompok orang yang berduyun-duyun membawa spanduk bertuliskan menuntut pembebasan sebuah lahan. Gua mengelus dada dan menghela nafas panjang diantara rintik hujan yang berbaris rapi turun kebumi. Lumayan lama, lumayan membosankan menunggu sesaat warta live pagi ini.

Mendekati kantor gua lagi-lagi tertahan dipersimpangan, tapi kali ini bener-bener lampu sedang merah membara melarang para pengendara untuk lewat. Entah kebetulan atau apalah bahasa yang tepat. Tak lama gua berhenti lewatlah truk sedang konvoi dimuati banyak orang yang juga membawa spanduk. Dari beberapa tulisan itu sempat terbaca ama gua diantaranya ''hapuskan kerja kontrak'' dan ''naikkan upah buruh''. Mendadak gua termenung dan bergumam dalam hati. ''Mimpi apa gua semalam?'' lanjut gua lagi, ''Apa arti semua ini?''. ***

Sesampainya dikantor gua langsung absensi setelah itu buru-buru keluar kantor buat cari sarapan nasi gurih diseberang kantor. Gerimis mulai reda, warung sarapan telah disesaki pembeli sejak tadi. Disebelah warung depan ruko toko kelontong yang masih tutup. Seorang lelaki kumal tampak menggulung badannya yang mungkin kedinginan atau mungkin juga kelaparan. Gua kembali mengelus dada sembari menunggu sajian sarapan nasi gurih yang telah dipesan.

Tak lama berselang, seorang anak perempuan memakai rok sekolah dan kaos kusam sambil menggendong adiknya meneriakkan suara memecah telinga dengan memukul-mukul tumpukan tutup botol, tertata rapi diujung sebuah kayu pendek didalam kepalan tangannya.

Gua masih nunggu sajian sarapan, seiring dengan itu semangat gua sedari tadi tetap kokoh kini mengendur. Gua ngelamun panjang, menghela nafas panjang. Teka teki apa pagi ini? Apakah Tuhan sedang memberi isyarat? Tapi isyarat apakah itu?

Hape gua bunyi, sms dari kantor rupanya. Akhirnya sarapan gua bungkus dan berlalu pergi dari tempat itu. Jalanan licin dan berdebu, poster calon gubernur, spanduk pembebasan lahan, dan semua kejaian pagi ini telah berlalu. ***

Cerpen : Tomkian Wahyu